Ketika saya dan suami saya pergi mengabarkan
Injil untuk pertama kalinya, saya prihatin melihat maraknya materialisme di masyarakat kami. Sebelumnya tak pernah terlintas
dalam pikiran saya bahwa saya pun bisa menjadi orang yang materialistis. Lagi pula, bukankah sewaktu kami pergi untuk mengabarkan
Injil, kami pergihampir tanpa membawa apa-apa? Bukankah kami harus tinggal di apartemen kuno yang tak terpelihara dengan perabotnya
yang sudah usang? Saya pikir materialisme tidak bisa menyentuh kami. Namun, perasaan
tidak puas perlahan-lahan mulai berakar dalam hati saya. Tak lama kemudian, saya mulai memimpikan benda-benda bagus dan diam-diam
merasa kesal karena tidak dapat memiliki benda-benda tersebut. Suatu hari, Roh Allah membuka mata saya terhadap suatu pemahaman
yang menyentak. Materialisme tidak harus berarti memiliki harta benda, tetapi dapat berupa keinginan untuk memilikinya. Saya
terpaku karena merasa bersalah telah bersikap materialistis! Tuhan telah menunjukkan bahwa ketidakpuasan saya telah menjadi
berhala dalam hati saya. Hari itu saya menyesali dosa yang tidak kentara ini, dan saat itu juga Allah kembali menguasai hati
saya sebagai singgasana-Nya yang sah. Sudah tentu saya merasakan kepuasan yang mendalam, bukan karena harta benda, melainkan
karena Dia. Di zaman Yehezkiel, Tuhan pun menunjukkan penyembahan berhala di hati umat-Nya
(Yehezkiel 14:3-7). Dan sekarang, Dia rindu melihat kita membersihkan hati dari segala yang merusak kepuasan kita akan Dia.
|